Gradasinews.id – Suasana ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek tahun ini terasa berbeda. Kursi-kursi yang biasanya penuh dengan saksi, keluarga korban, hingga wartawan yang meliput, kini lebih sering kosong. Kasus kekerasan anak yang masuk ke PN Trenggalek pada 2025 menurun drastis.
Data resmi menunjukkan, hingga Agustus 2025 hanya ada tiga perkara kekerasan anak yang disidangkan. Padahal, sepanjang 2024 lalu, jumlahnya mencapai 12 perkara. Perbedaan mencolok ini bukan hanya sekadar angka, tetapi juga cermin kondisi sosial masyarakat Trenggalek yang tengah berubah.
Fakta di Balik Penurunan
Juru Bicara PN Trenggalek, Marshias Mereapul Ginting, mengungkapkan semua perkara kekerasan anak tahun ini sudah diputus di tingkat Pengadilan Negeri dan telah berkekuatan hukum tetap.
“Seluruh putusan sudah inkracht. Tidak ada perkara yang naik banding atau kasasi,” ujarnya tegas.
Namun, ada catatan menarik: semua kasus yang muncul pada 2025 adalah kekerasan fisik, bukan kekerasan seksual. Tren ini berbeda dengan tahun sebelumnya, ketika kasus pelecehan seksual terhadap anak masih sempat mencuat di ruang sidang.
Berat Ringan Vonis, Tergantung Jenis Kekerasan
Perbedaan jenis kekerasan mepengaruhi berat ringannya vonis hakim. Menurut Ginting, perkara kekerasan seksual biasanya berakhir dengan hukuman lebih tinggi karena dampaknya sangat serius bagi korban.
Sedangkan perkara kekerasan fisik, yang tahun ini mendominasi, kebanyakan dipicu oleh perkelahian atau tawuran remaja. Kondisi tersebut membuat vonis yang dijatuhkan cenderung lebih ringan.
“Kalau perkara kekerasan seksual, vonisnya lebih berat. Sedangkan fisik, biasanya persoalan emosi sesaat, sehingga hukumannya tidak setinggi kasus seksual,” jelasnya.
Kilas Balik 2024: Persidangan yang Berat
Situasi ini sangat berbeda dengan tahun 2024 lalu. Dari 12 perkara yang ditangani PN Trenggalek, satu kasus bahkan menempuh jalur panjang hingga banding dan kasasi, atas nama terdakwa Marzuki. Proses hukum yang berliku itu menunjukkan betapa kompleks dan sensitifnya kasus perlindungan anak.
Kini, di tahun 2025, semuanya berakhir di tingkat pertama. Tidak ada perlawanan, tidak ada banding. Seolah-olah ruang sidang pun ikut bernapas lega.
Kabar Baik, Tapi Jangan Lengah
Penurunan angka kekerasan anak ini tentu membawa angin segar bagi Trenggalek. Namun, para hakim dan aparat penegak hukum mengingatkan, angka yang menurun bukan berarti ancaman telah hilang.
“Ini kabar baik, tapi jangan membuat kita lengah. Perlindungan anak harus terus diperkuat, karena kasus bisa muncul kapan saja,” pesan Ginting.
Anak-anak bukan sekadar data dalam catatan perkara. Mereka adalah masa depan, wajah yang harus dijaga, dan jiwa yang tidak boleh terluka. Penurunan kasus patut disyukuri, tapi tanggung jawab menjaga mereka tetap ada di pundak semua pihak—keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas.